Menyebut apa yang terjadi di Sumatera belakangan ini sebagai “bencana alam” adalah kekeliruan - atau setidaknya, penghindaran dari kenyataan yang lebih pahit.
Hujan lebat, banjir, atau tanah longsor yang terjadi di tengah belantara tak berpenghuni tidak akan kita sebut bencana. Itu adalah metabolisme alam, proses normal dari suatu sistem yang hidup dan dinamis.
Sebuah peristiwa baru berubah menjadi bencana ketika manusia terdampak. “Bencana” adalah istilah yang sepenuhnya antroposentris. Hujan adalah peristiwa alami; yang menjadikannya tragedi adalah kerentanan manusia.
Dua Kewajiban yang Kita Abai
Jika bencana lahir dari pertemuan antara proses alam dan kerentanan manusia, maka ada dua kewajiban mendasar yang semestinya menjadi pegangan suatu masyarakat manusia.
Pertama, mempersiapkan diri.
Alam menyediakan pemicu, tetapi manusialah yang membangun kondisi yang melahirkan korban.
Tanah longsor dan banjir mungkin membutuhkan curah hujan ekstrem, tetapi korban jiwa membutuhkan sesuatu yang lain: deforestasi yang ugal-ugalan, penataan ruang yang kacau, drainase yang buruk, regulasi yang tidak ditegakkan, dan pembangunan yang buta risiko.
Di sini, sikap manusialah yang menentukan apakah proses alam berubah menjadi tragedi dan mematikan.
Kedua, jangan menjadi pemicu gangguan metabolisme alam itu sendiri.
Seperti organisme apa pun, alam bisa terganggu ketika ada perubahan drastis yang kita ciptakan: pembabatan hutan hujan secara masif, kebakaran lahan rutin, polusi udara yang memerangkap panas, dan pelepasan karbon yang terus meningkat.
Dampaknya menjalar: iklim berubah, suhu naik, siklus air kacau, badai dan kekeringan makin ekstrem.
Apa yang terjadi di Sumatera memperlihatkan, dengan telanjang, bahwa kita gagal di kedua kewajiban itu. Kita gagal mempersiapkan diri, dan gagal menjaga sistem ekologis agar tidak rusak melampaui kemampuan kita untuk mengelolanya.
Karena kita hidup dalam sistem yang terorganisir dan dikelola negara, maka kegagalan ini bukan hanya kegagalan individu. Ini adalah kegagalan tata kelola. Dan itu berarti persoalan politis.
Hujan itu alami. Banjir itu kegagalan sistem. Korban jiwa adalah urusan politik.
Ketika Negara Lebih Sibuk Mengambil daripada Melindungi
Di balik setiap bencana terdapat pertanyaan sederhana tetapi mendasar: Perikehidupan siapa yang lebih dihargai?
Di Indonesia, jawabannya sering kali terlihat dari siapa yang tinggal di bantaran sungai, di kaki bukit, di wilayah rawan banjir, di kawasan yang tak memiliki perlindungan memadai, dan mereka yang tinggal paling dekat dengan sumber daya namun paling jauh dari kekuasaan.
Kerentanan tidak jatuh dari langit; ia diproduksi oleh cara negara mengelola ruang, sumber daya, dan pembangunan.
Logika Ekstraktif dalam Pemerintahan
Struktur ekonomi-politik kita dibangun atas logika ekstraksi: mengambil sebanyak-banyaknya dari tanah, air, hutan, mineral, dan tenaga kerja. Dalam logika semacam ini, perlindungan ekologis dan penataan ruang dipandang bukan sebagai fondasi, melainkan beban.
Ketika yang lebih banyak dipertimbangkan adalah keuntungan, bukan keberlanjutan, maka banjir, longsor, dan keruntuhan sosial hanyalah eksternalitas, kerusakan sampingan yang bisa diabaikan.
Kaburnya Batas Negara dan Korporasi
Dalam pengelolaan hutan, tambang, perkebunan, dan ruang urban, batas antara kewenangan publik dan kepentingan privat sering kali kabur.
Regulasi yang seharusnya melindungi masyarakat kadang justru ditulis, dinegosiasikan, dan ditegakkan dalam jaringan kepentingan yang tumpang tindih antara birokrat dan modal besar.
Dalam situasi seperti ini, standar keselamatan, perlindungan ekologis, dan ketahanan jangka panjang bukanlah prioritas, karena tidak menghasilkan keuntungan cepat. Birokrasi yang semestinya mengendalikan pun menutup mata karena sama-sama diuntungkan.
Dalam sistem seperti ini, bencana bukan sesuatu yang dicegah, melainkan sesuatu yang ditoleransi.
Bukan Sekadar soal Korupsi
Kita sering berhenti pada satu kata: korupsi.
Padahal persoalannya lebih dalam, lebih struktural, dan sudah terlembaga.
Sistem pembangunan kita bekerja dengan sangat efektif sebagaimana ia dirancang, hanya saja bukan untuk kepentingan publik.
Dalam ekonomi ekstraktif, negara berfungsi sebagai makelar ruang: pemberi izin, pembagi konsesi, penentu zona yang menguntungkan. Dari konsesi tambang hingga perkebunan, dari kawasan industri hingga klaster real estat.
Penataan ruang kehilangan tujuan moralnya dan berubah menjadi mekanisme alokasi keuntungan, bukan mekanisme perlindungan masyarakat.
Ketika ruang diperlakukan sebagai komoditas, risiko pun diperlakukan sebagai resiko yang bisa ditimpakan kepada mereka yang tak punya pilihan.
Maka yang kita hadapi di Sumatera bukan hanya curah hujan ekstrem, tetapi lanskap kerentanan yang dirancang - atau setidaknya dibiarkan - oleh arah pembangunan kita sendiri.
Menamai Masalah dengan Jujur
Menyebut apa yang terjadi di Sumatera sekadar “bencana alam” adalah cara paling mudah untuk melarikan diri dari persoalan inti dan menutupi akar masalah.
Istilah itu membebaskan kita dari pertanyaan-pertanyaan:
Siapa yang menutup mata dari gundulnya hutan?
Siapa yang mengeluarkan izin dengan ugal-ugalan?
Siapa yang membiarkan masyarakat tinggal di ruang yang mereka tahu rawan?
Siapa yang mengabaikan pembangunan infrastruktur yang memadai?
Bencana bukan hanya persoalan geologi dan meteorologi; ia adalah persoalan sosial, politis, dan infrastruktur.
Alam bekerja sebagaimana mestinya. Kitalah yang tidak.
Sampai negara mengubah logika pembangunan dan berhenti menoleransi kerentanan sebagai bagian normal dari hidup warganya, tragedi-tragedi semacam ini akan terus berulang. Bukan karena alam membawakan bencana, tetapi karena kita menolak berubah.
Karena negara telah memilih: keuntungan siapa yang harus dilindungi, dan warga mana yang boleh menjadi korban.
Hujan itu alami. Yang membawa bencana adalah sistemnya.

No comments:
Post a Comment